Era pasar bebas, atau
yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para
pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Kata
“globalisasi” secara populer dapat diartikan menyebarnya segala sesuatu
secara sangat cepat ke seluruh dunia.
Robertson dalam Globalization:
Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992) mendefinisikan
globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and
the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga
melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the
international level.
Globalisasi sebagai
sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan
terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan
perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan
sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang
mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan
paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.
Terjadinya era globalisasi memberi
dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang
menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada
negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan
mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan
merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan kita pada
masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif
di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada
kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif
yang telah dimiliki bangsa kita.
Terjadinya perdagangan bebas harus
dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek
pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat
dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia
yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah
agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa
untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
SDM yang tangguh,
menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan
sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu
dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional.
A. Karakteristik Era Globalisasi
Era globalisasi akan ditandai dengan
persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi
teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan
ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia,
Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Masing-masing menampilkan keunggulan
yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu
teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi
yang tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan
lain-lain.
Jerman dan Jepang mengandalkan
kelebihan mereka dalam process technology yaitu teknologi yang
menghasilkan proses baru dalam pembuatan suatu jenis produk yang sudah ada,
misalnya CD (compact disc) pertama kali dibuat oleh Belanda kemudian
terus disempurnakan oleh Jepang sehingga menghasilkan CD dengan kualitas yang
lebih bagus dan harga lebih murah. Selain ketiganya, belakangan muncul Cina
sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonominya di atas 9
persen –suatu jumlah tertinggi di dunia.
Kompetisi ekonomi pada era pasar bebas
juga ditandai dengan adanya perjalanan lalu lintas barang, jasa, modal serta
tenaga kerja yang berlangsung secara bebas, kemudian adanya tuntutan teknologi
produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula
tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya.
Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya, kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya
jarak dan batasan antara satu orang dengan orang lain, kelompok satu dengan
kelompok lain, serta antara negara satu dengan negara lain. Komunikasi
antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan
informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi
informasi seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal
oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam hitungan detik.
Kondisi kemajuan
teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan
ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam
menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan
meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing
dalam kompetisi sehat tersebut.
Di sinilah pendidikan
-- termasuk pendidikan Islam -- diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu
mendidik dan menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified)
atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika
globalisasi tersebut.
Dengan demikian, era
globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini,
Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi
ufuk globalisasi.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai
tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan
meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset
secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur
masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial
dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan
pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang
semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan
karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi
dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan
kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan
tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di
bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan
keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner),
rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang
memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan
itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas,
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan
profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang
harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita
perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks kenasionalan. Sehingga
kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus
peluang tersebut.
Secara kuantitas, perkembangan jumlah
peserta didik pendidikan formal Indonesia mulai dari tingkat TK hingga jenjang
perguruan tinggi (PT) mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Namun secara
kualitas masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, baik negara-negara
maju, maupun negara-negara anggota ASEAN sekalipun.
Institusi
pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan
standar kompetensi global --paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya
terjun bersaing dengan para tenaga kerja asing-- sehingga bisa mengantisipasi
membludaknya pengangguran terdidik. Di sini harus diakui, lembaga-lembaga
pendidikan Islam ternyata belum siap menghadapi era pasar bebas. Masih
banyak yang harus dibenahi; apakah sistemnya ataukah orang yang terlibat
di dalam sistem tersebut.
B. Sumber-sumber Kelemahan Bersaing
Pendidikan
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan
pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan
program pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem
pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah
dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya
ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1. Titik berat pendidikan pada aspek
kognitif
2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola
pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3. Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi)
ke pengajaran
4. Kurangnya pembinaan minat belajar pada
siswa
5. Kultur mengejar gelar (title)
atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6. Praktik dan teori kurang berimbang
7. Tidak melibatkan semua stake holder,
masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8. Profesi guru/ustadz sekedar profesi
ilmiah, bukan kemanusiaan
9. Problem nasional yang multidimensional
dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan
pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi
pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini
agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk
itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, orientasi pendidikan harus lebih
ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih
menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan
keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami
kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan
aspek kognitif (pengetahuan).
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan
pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung
jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna
pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka.
Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk
kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of
knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and
skill, serta pembentukan karakter (caracter building).
Keempat, perlunya pembinaan dan
pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik
sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang
berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting
daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang
substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi
hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi
pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam
pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar
intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.
Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah
kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu
dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya.
Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap
manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia
kerja.
Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi
komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah,
sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat
ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya,
guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai
setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus
diperhatikan pemerintah.
Kesembilan, pemerintah harus memiliki formula
kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan.
Salah satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara
menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini
diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan
pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan
pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada
lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor
utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber
daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu
pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung
oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan hal itu
berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM
Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya tingkat pendidikan,
lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya
SDM menyebabkan Indonesia kurang mampu bersaing dengan negara-negara
lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki
kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena
kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung
pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai
nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita
melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu
pendidikan yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang
diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy (PERC)
tahun 2001, jauh di bawh Vietnam (6).
Hasil survei PERC itu mengacu pada
tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan
tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak
berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya
tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”
dengan bangsa lain.
Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses
sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat
pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu
berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee
society.
Dalam konteks ini, Alvin Toffler
dalam buku The Future Shock (1972) mengatakan, employee dan
worker itu berbeda. (1) employee memiliki ciri untuk terus
meningkatkan kemampuan teknis termasuk keterampilannya, sedangkan worker
menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat
mengendalikan alat (mesin), sedangkan worker relatif dikendalikan oleh
mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker
berkhidmat kepada mesin; (4) employee pada dasarnya tidak perlu diawasi
hanya perlu pembagian tanggung jawab, sedangkan worker harus diawasi
melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi
yaitu informasi, sedangkan worker tidak memilikinya.
Oleh karena itu,
orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan
tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga
ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial
budaya.
Kita seharusnya belajar dari Jepang dan
Korea Selatan. Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA),
tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer
ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.
Dalam konteks ini, masyarakat Jepang
menurut H.D. Sudjana (2000) memiliki lima karakteristik khusus dalam
sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
Pertama, emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai
atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai
warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok,
atau bangsa lain.
Kedua, consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang
untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa
keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah
yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan
masyarakat Jepang.
Ketiga, futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke
depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik
apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan
keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya
meningkatkan kemajuan individu.
Keempat, kualitas. Mutu adalah jaminan kualitas.
Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor
penarik (full factors).
Kelima, kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk
bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata
kehidupan dan tata ekonomi global.
C. Pendidikan dan Kemampuan Bersaing
Bangsa
Kemampuan bersaing pendidikan kita
menghadapi era globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara
lain. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang
ada.
Sebagai contoh kita bisa melihat Tenaga
kerja Indonesia (TKI) maupun TKW yang “diekspor” adalah tenaga buruh,
seperti: pembantu rumah tangga, perawat, buruh perkebunan, buruh bangunan,
sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan tenaga kerja asing yang bekerja di
Indonesia adalah kalangan pengusaha, investor dan pemilik perusahaan. Pekerja
kita amat minim penguasaan pengetahuannya serta rendah kemampuan bahasa
asingnya, terutama Bahasa Inggris.
Untuk melacak akar kelemahan SDM
Indonesia ini bisa dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini secara logis
dimunculkan pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam
memperebutkan lapangan kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah
sector pendidikan.
Pendidikan harus benar-benar
diberdayakan oleh kita semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang akan mampu
memberdayakan masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan oleh sistem
pendidikan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam konteks
persaingan global.
Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan
sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar harus disadari
secara kolektif, baik oleh individu, keluarga, masyarakat, lebih-lebih oleh
pemerintah sebagai investasi masa depan bangsa.
Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dan
strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini
tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya
sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh pertimbangan
empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang, keberadaan
sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan semakin
dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.
Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas
kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki
visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang
berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang
kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina
mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami
bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey)
kondisi ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF.
Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan perekonomian
nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti pasar modal,
bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi internasional
yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi kebutuhan bangsa kita.
Tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
juga akan mengalami pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih
subur daripada rasa kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih
diterima masyarakat ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara
vertikal dan horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan
paternalistik.
Keterbukaan (transparancy) akan diterima masyarakat.
Di sisi lain, semangat nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa
kemajuan bangsa. Janganlah alasan nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa
maju dan berkembang. Sebaliknya, semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan
bangsa ini tercabik dan terinveksi oleh virus globalisasi.
Semua itu, sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan
antisipasi pendidikan, apakah pendidikan kita mampu mengakomodasi dan
memberikan solusi dalam upaya memajukan dan memenangkan kompetisi global yang
keras dan ketat, ataukah justru terbelenggu dan asik dalam lingkaran globalisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur`an
al-Karim
Abdullah,
Abdurrahman Salih, Educational Theory Qur’anic Theory (Mekkah: Ummul
Qura University, tt).
Abd. Al-Baqi,
Muhammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur`an al-Karim (Beirut
: Dar al-Fikr,1987).
Abdul Hakim, Atang
& Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda, 2001.
Abrasy, Muhammad
Athiyah al, Al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah Isa al-Babi
al-Halabi, 1975).
Al-Baghdadi,
Abi al-Fadhal Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh Ma’ani fi Tafsir
al-Qur`an al-‘Azim wa al-sab’u al-Matsani, juz XI (Lebanon : Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1994).
'Ali,
Hasan Abd. al, Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi'al-Hijryi (TT:
Dar al-Fikr al-'Araby,tt)
Ali, D.P . Sati,
(selanjutnya disebut Siti, pen)., capita selecta, ed.W.van Hoeve (Jakarta:PT.
Bulan Bintang, 1954)
Al-Qurthubi,
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Tafsir al-Maraghi, Juz VII
(Mesir : Mathba’ah al-babi al-Halâby, tt).
Al-Zuhaili,
Wahbah, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, juz
XXI (Damsyiq : Dar al-Fikr al-Ma’ashir,1991).
Azim,
Ali Abdul, Ensiklopedi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qur`an (Bandung
: Rosda, 1989).
Arief, Armai, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2002.
--------, Pendidikan
Integralistik; Pemikiran dan Pergerakan Mohammad Natsir dalam Pendidikan,
naskah buku belum diterbitkan.
Arifin,
Muzayin, Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), Toha Putra,
Semarang, 1981
Asari, Hasan. Menyingkap
Zaman Keemasan Islam,
(Bandung: Mizan,
1994).
Aziz, M. Amin, “Islamisasi
sebagai Isu”, Ulumul Qur’an, Volume II, No. 4. 1992
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam;
Tradisi dan Modrnisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
---------, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas,
2002.
---------,
Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, dalam Charles Michael
Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994)
Bagir,
Haidar dan Zainal Abidin, "Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau
Khayalan?" kata pengantar dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut
al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1990
Bakar, Osman, Hierarki
Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998, cet.
Ke-3.
Bakker,
A.H., Metode-metode Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas
Filsafat, t.t.)
Dalizar,
Konsepsi Al-Qur'an tentang Hak-hak Asasi manusia, Pustaka Al-Husna,
Jakarta, 1987
Dasuki, H.A. Hafizh,
Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeur, Cet.III, 1999), jilid IV.
Daud,
Wan, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Daradjat,
Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1987
---------,
Kumpulan Materi LMD dan SII, YPM Salman, ITB, Bandung, 1987
---------,
Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pendidikan Tinggi, Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1991
Djakfar, Muhammad, Islamisasi
Pengetahuan; dari Tataran Ide ke Praksis, dalam buku Quo Vadis
Pendidikan Islam (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Deming,
Edward W., Out of The Crisis, Cambridge: Cambridge Univercity, 1973
Departemen Pendidikan
Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan
Pelaksanaan, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah
lanjutan tingkat Pertama, 2001
Dewey, John, Democracy
and Education, Encyclopedia Americana, 1979
Faruqi, Ismail Raji al, Islamisasi
Pengetahuan, (terj.) oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge,
Bandung: Pustaka, 1984.
Freire,
Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Pedagogy of the
Oppressed, Jakarta: LP3ES, 2000, ceet. Ke-3
----------,
et.al., Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet.
Ke-2
Geertz, Clifford, “Modernization
in A Moslem Society: The Indonesia Case”, da’am Quest, vol. 39
(Bombay: 1963). Hadi S, Qamarul, Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif,
Bandung, 1986
Hamka, Tafsir
al-Azhar, Juz XXI (Jakarta : Pustaka al-Islam, 1982)
Hasanuddin, AH., Cakrawala
Kuliah Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1980
Halimuddin, Kembali
Kepada akidah Islam, Rineka Cipta, 1988
Hossein Nasr, Syed, Islam
dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Mizan, 1983
----------,
Islam dan Nestapa Manusia Modern, Pustaka, Bandung, 1983
----------, Mulla
Sadra: His Teachings, dalam Syed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), History
of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996
----------, dan
William C. Chittick, Islam Intelektual Teologi: Filsafat dan Ma'rifat,
terj. Tim Perenial, Depok: Perenial Press, 2001.
---------,
Science And Civilization In Islam, (Cambridge: Harvard University press,
1968).
Ikhrom, Dikhotomi Sistem Pendidikan
Islam; Upaya menangkap Sebab-sebab dan Penyelesaiannya, dalam buku Paradigma
Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM., et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelahar,
2001.
Ilich,
Ivan, Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, terj. Deschooling
Society, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, ed. Ke-1, cet. Ke-2
Imron,
Ali,j Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Proses, Produk, dan Masa Depannya, Bumi
Aksara, Jakarta, 1996.
J. Drost, Pengajaran
Kita, Kompas, 7 Agustus 2001.
Jenie, Umar A., Paradigma
dan Religiositas Perkembangan Iptek, dalam buku Religiusitas Iptek,
Yogyakarta: 1998, cet. Ke-1.
Langgulung, Hasan, Peralihan
Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Jakarta: Gama Media
Pratama, 2002.
---------,
Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979)
Kartanegara,
Mulyadhi, "Reintegrasi Ilmu Pengetahuan Mungkinkah Itu?",
Makalah dari Seminar Nasional Reintegrasi Ilmu oleh Fak Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tgl 19 Okt 2002
Kurniawan,
Khaerudin, “Arah Pendidikan Nasional Memasuki Milenium Ketiga”, Suara
Pembaharuan, Januari 1999.
Mc
Clelland, David C, The Achieving Society, The Mcmillan Company, 1961
Makdisi, George. The
Rise of Colleges (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1981).
Marimba,
Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1980
M.Natsir, Pendidikan
Pengorbanan ke Pemikiran Primondialisme dan Nostalgia, (Jakarta: Media
Dakwah, 1978)
Mursy,
Ahmad Munir. Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha. (Kairo:
Maktabah Dar al-'Alami, 1986)
Muthahhari,
Murtadha, Mengenal Epistemologi, terj. Muhammad Jawad Bafaqih, Jakarta:
Lentera Basritama, 2001
Muhaimin, Redefinisi
Islamisasi Pengetahuan; Upaya Menjejaki Model-model Pengembangannya, dalam
buku Quo Vadiss Pendidikan Islam (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia
Paramulya, 2002.
Mulkhan, Abdul Munir,
Rekosntruksi Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, dalam buku Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997
Muhadjir, Noeng, Filsafat
Ilmu: Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001
Munawwir, Ahmad
Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Yogyakarta : Pondok
Pesantren al-Munawwir, 1984).
Muzani, Saiful (ed.) Pembangunan dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993.
Naim,
Mochtar, Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan yang Integral, dalam
Anwar Harjono (pen), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996.
--------, Pemikiran
dan Perjuangan Mohammad Natsir, makalah dalam seminar “Pemikiran
Mohammad Natsir”, Yisc Al-Azhar Jakarta, 16-17 Juli 1994
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi
Islam and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968)
Naquib
Al-Attas, Syed Muhamad, Konsep Pendidikan dalam Islam, Mizan, Bandung:
1987
Nasution, S, Sosiologi
Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1995
Nata, Abuddin, Tema-Tema
Pokok al-Qur`an (Jakarta : Biro Mental DKI, 1993)
Poerbakawatja,
Soegarda, dan A.H. harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung,
Jakarta, 1980
Puar,
Yusuf Abdullah, Mohammad Natsir 70 Tahun, Kenang-kenangan Kehidupan
dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1976), cet. ke-I
S.I.
Poeradisastra, "Epistemologi di dalam Islam", di dalam
Salemba No. 70 Tahun IV, Juli 1979.
Qamarul Hadi, S., Membangun
Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986.
Rahardjo, Mudjia, Islamisasi Ilmu
Pengetahuan Sosiologi Islam sebagai Sebuah Tawaran, dalam buku Quo vadis
Pendidikan Islam, (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia Paramulya,
2002.
Rahardjo, M. Dawam,
Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan
Muslim, Mizan, Bandung: 1996
---------, “Dunia
Pesantren dalam Peta Pembaharuan” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. ke-5.
Rachman, Arief, Kualitas Pendidikan
Harus Dimaksimalkan, Media Indonesia, 30 Mei 2002
Rahman,
Budy Munawar, ed., Kontektualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta: 1995
Rahman, Fazlur, “Islamisasi Ilmu,
Sebuah Respon”, Ulumul Qur’an Vol. III No. 4 1992.
Ramayulis, Studi
Tentang Konsep Pendidikan Mohammad Natsir (Batusangkar: Fakultas Tarbiyah IAIN
Imam Bonjol Batusangkar, 1979)
Rasjidi, Muhammad, Empat
Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang: Jakarta, 1974
Salam,
Solihin, Wajah Nasional (Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam,
1990)
Sardar,
Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam,
terj. AE Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Shihab,
M. Quraish, Secercah
Cahaya Ilahi: Hidup bersama Al-Qur`an, Mizan, Bandung: 2000
---------,
Membumikan Al-Qur`an, Mizan, Bandung: 2000
Suardi,
Rudi, Sistem Manajemen Mutu ISO 9000-2000; Penerapannya untuk Mencapai TQM,
Jakarta: PPM & Rosdakarya, 2001
Sudjana, HD., Manajemen
Program Pendidikan, Bandung: Falah Production, 2000
Sumadilaga, H.R. Syarief, dkk., Pengembangan
Sumber daya Manusia, Materi Qur`ani dan Metodenya, Simposium
Nasional Cendikiawan Muslim, Jakarta: 1990, tidak diterbitkan
Syadid,
Muhammad, Manhaj al-Qur`an fi al-tarbiyah (Beirut : Muassasah
al-Risalah, 1987).
Syalabi,
Ahmad. Al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah, 1982)
Stanton, Charles
Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994).
Suwito,
Pendidikan yang Memberdayakan, Makalah Pengukuhan Guru Besar di Bidang
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Januari 2002.
Tilaar,
H.A.R., Kajian Kritis Sistem Pendidikan Nasional, Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional “Mencari Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Memasuki Milenium III” dalam HUT PGRI di Jogjakarta.
Tim Penyusun
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Toffler, Alvin, The Future Shock,
terj. Hermawan Sulistyo, Jakarta: Pantja Simpati, 1992
UU
No. 2 Tahun 1989 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
van Bruinessen,
Martin, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah 26: Pergulatan NU
Dekade 90-an”, dalam Ellyasa K.H. Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat
Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), cet. ke-1.
Wahid,
Marzuki, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”,
dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1.
Walgito, Bimo, Bimbingan
dan Penyuluhan di Sekolah, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.
Wan
Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Weber,
Mark, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism, Simon dan Schuster, New
York, 1980.
Yunus, Mahmud, Pokok-Pokok
Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta : Hidakarya Agung, 1978).
terimakasih atas informasinya!
BalasHapus