Jumat, 18 Januari 2013

Taujihat: Jadikan Shalat Pencegah Perbuatan Keji dan Munkar


Setiap kewajiban yang telah dibebankan Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab dan Sunnah rasul-Nya.
< ![endif]-->
Pada akhirnya nilai-nilai keagungan Islam senantiasa mewarnai ruang kehidupan Muslim. Tidak hanya terbatas pada ruang kepribadian individu Muslim, namun nilai-nilai itu dapat ditemukan pula dalam ruang kehidupan keluarga dan komunitas masyarakat Muslim. Kita bisa merenungkan kembali ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan hal ini, sebagaimana salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183). Melalui ibadah puasa, Allah SWT menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini: sami’naa wa atha’na.
Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karenanya, Nabiyullah agung Muhammad SAW telah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikuti keburukan dosa dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya dan gauli manusia dengan akhlak yang baik.” Dalam sabda beliau yang lain: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban) maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya, Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan sekali-kali kamu melampui batas, Dia telah mengharamkan banyak hal maka jangan sekali-kali melanggarnya….” “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo\’alah untuk mereka. Sesungguhnya do\’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 9/At-Taubah: 103). Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda.
Begitu juga ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu`an di dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup. Perhatikan ayat berikut ini, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45). Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah yang menggelora dalam memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan. Memang, ia harus menjadi cahaya yang berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. 6Al-An’am: 122)
Ikhwan dan akhwat fillah, Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah yang merupakan simbol dan tiang agama, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR Muslim). Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (HR At-Thabrani). Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan Islam) yang akan dihapus oleh Allah SWT. Selain ini, shalat juga penyejuk mata, waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan media komunikasi antara hamba dan Rabbnya. Ibadah yang memiliki kedudukan atau manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah yang inheren dengan ibadah ini. Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati, merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini maka kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini. Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari nilai-nilai Islam. Ahli shalat namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak mampu memberikan pesan-pesan ilahiah di luar shalat.
Takbir yang dikumandangkan di saat beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan merasakan kenikmatannya, terkontaminasi dengan nilai-nilai keta’atan dan mendapatkan cahaya ma’rifatullah. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya, khusyuk dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.” (H.R. Muslim) Inilah yang pernah dilakukan oleh salaf shalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair RA. Mereka laksana tiang yang berdiri tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara makhluk-Nya. Ikhwan dan akhwat fillah, Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga. Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah. Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta\’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. 98/Al-Bayyinah: 5). Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat, do’a dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. 107/Al-Maa’uun: :4-5). Keempat, mengagungkan Allah SWT dan merasakan haibatullah. Rasulullah SAW bersabda, “…Kamu mengabdi kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim). Semoga kita semua mampu merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan dakwah dan memperbaikinya agar kita benar-benar mi’raj kepada Allah SWT. Wallahu A’lam Bish-shawwab


Manajemen Qolbu: Mengubah dengan Kekuatan Tauladan


(QS. As Shaaf 21:3)

Mudah-Mudahan kita semua tidak menjadi contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan anak-anak kita tidak mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para orang tuanya lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita tidak menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku buruk yang kita lakukan.
Alangkah ruginya dalam hidup yang cuma sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita, naudzubillah. Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral, maka ketika orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi jika orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan memikul dosanya.

Namun seandainya justru orang atau masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka sudah sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara efektif ?
Salah satu caranya adalah dengan kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh terlebih dahulu. Jika ingin mengubah orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus dilakukan adalah sudah pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang lain? Sudahkah kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada diri orang lain itu?

Rasulullah SAW gemilang menyeru ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman kegelapan menuju jalan penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu pilar strategi keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri tauladan yang sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah orang lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita sebagai media atau contoh yang layak ditiru.

Karenanya, jangan bercita-cita memiliki anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan kelembutan itu tidak ada dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak yang tahu etika, kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak menggunakan etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari diri pimpinannya. Contoh sederhana, mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang jadi acuan bangsa Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa sekarang pemimpin bangsa ini yang paling Pancasilais ? Susah mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan yang sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah di bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di hulunya juga keruh.

Orang tua ingin anak-anaknya tidak merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat, bagaimana mungkin ? Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal ganja itu awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok di depan murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?

Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa anak-anak menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang bayinya, dan ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak. Perilaku si Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.

AH, sahabat. Sayang sekali kita terlalu banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya yang paling layak kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung jawab kalau para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak Gurunya dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah akhlak para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda. Santri di pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat saja akhlak para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang terlambat, kinerjanya tidak optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja akhlak pimpinannya. Pimpinan mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri pula.

Oleh karena itu, pertanyaan yang harus selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi contoh kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar dari mulut ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru akan jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada kata-kata.

Bersiap-siaplah untuk menderita bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi anak-anaknya. Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak dapat menjadi suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan tidak menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan jikalau seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.

Ingat, jangan mimpi mengubah orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah SWT, dengan tegas menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku apa-apa yang sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sungguh besar kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak diperbuatnya" (QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas kata-kata kita.

Dan menjadi contoh juga tidak akan efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada pula yang memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain hebat, ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh yang tidak ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang karena pujian, over acting tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh haruslah dilakukan dengan ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk dipuji dan dihormati.

Nah Sahabat.

Selalulah tanya pada diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup yang sekali-kalinya ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah sebaliknya contoh tauladan keburukan ? Naudzhubillah.

Apakah contoh pribadi yang matang ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan bagi siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma sekali dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah jikalau kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun. Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak.

FUTUR


Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun. Kadang  pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para Muharrik (orang yang bergerak) menemui jalam yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Satu saat ia memilikikondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. tabiat manusia memang menggariskan demikian.
            Dalam salah satu haditsnya Rosulullah SAW bersabda : “hati manusia itu bisa berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Lalu sahabat bertanya, “bagaimana cara mengobatinya ya Rasulallah ?”. jawab Rasul : “Membaca Alquran dan ingat mati”. Syarah dari hadits ini mensiratkan satu hal. Iman manusia tidak konstan. Ia dapat berubah. Karena itu dalam hadits yang lain, Rosul menyuruh para sahabat dan kita sekalian untuk selalu memperbaharui iman.
            Dalam kondisi iman yang turun ini, para mutaharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan harakah. Yaitu penyakit futur.

Makna Futur

            Secara bahasa Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak. Juga dapat berarti dalam diam setelah bergerak. Atau : malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh. Penyakit futur ini menimpa orang-orang yang telah bergerak. Ia tidak menimpa orang yang tidak atau belum bergerak.
            Berjangkitnya penyakit futur pada diri muharrik dapat menimbulkan beberapa atsar (pengaruh), baik bagi diri muharrik itu sendiri maupun kepada harakah yang tengah berlangsung. Bagi para muharrik, futur menyebabkan sedikitnya simpanan taat yang dimiliki. Padahal, taat merupakan syarat bagi berlangsungnya amal yang ikhlas. Tanpa taat, sulit bagi muharrik melaksanakan program harakah yang notabene tidak pernah mengiminginya dengan balasan duniawi. Bagi harakah sendiri, futur menyebabkan panjangnya jalan yang harus ditempuh. Ini merupakan akibat logis dari tidak mustamirnya amal yang dilaksanakan. Harakah  yang tidak mustamir hanya menghasilkan bangunan islam yang juz’iyah (parsial). Bangunan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam kurun waktu tetentu, menjadi terbengkalai karena terhentinya gerak pembangunan.
            Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari harokah dan jamaahnya. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepeda Allah dengan kualitas terbaik.
Firman Allah : “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang dilangit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tidak pula mersa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya” (QS. Al-Anbiya:19-20).
Karena itu Rasulallah sering berdoa:
Artinya:”Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah,jadikanlah sebaik-baik amalku keridloan-Mu. Ya Allah,jadikahlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu”.

Penyebab Futur

            Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharri, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya :



1.      berlebihan dalam din

berlebihan dalam din, dengan pemaksaan diri dalam melaksanakan ibadah, hanya mengakibatkan kelelahan fisik dan mental. Tubuh dan jiwa manusia hanya dapat memikul  beban berat untuk satu waktu tertentu. Jika ia didera untuk memikulnya, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap fitrahnya sendiri. Dalam suatu hadits riwayat anas ra : Prenah datang serombongan sahabat yang terdiri dari tiga orang ke rumah Rasulullah. Mereka menanyakan perihal ibadah Rasulullah kepada istri-istri beliau. Setelah mendengarkan ketekunan ibadah Beliau, sadarlah mereka akan sedikitnya ibadah yang mereka lakukan selama ini. sehingga berkata seorang diantara mereka : “saya akan sholat sepanjang malam. Yang kedua berkata “ saya akan puasa selamanya. Yang ketiga menyambung “ saya akan menjauhi istri dan tidak akan kawin”. Mendengar itu semua, Nabi lalu mendatangi mereka. Seraya berkata : “ demi Allah saya lebih takut kepada Allah dari kamu, bahkan saya lebih bertaqwa. Namun saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur. Juga saya kawin. Barang siapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”. (HR. Bukhari dan Muslim).
      Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:
“ Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan”. (HR. Muslim )
      Karena itu, amal yang paling di sukai Allah adalah yang sedikit dan kontinyu.

2.      Belebih-lebihan dalam hal yang mubah.

Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sanagat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseornag menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini menghalangi untuk berharakah.


3.      Memisahkan diri dari jamaah

Jauhnya seseorang dari jamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda : “ Syaitan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya”. (HR. Ahmad)
Jika syaitan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhon ( prasangka ) yang tidak pada tempatnya kepadajamaah dan harakah. Jika berlanjut ,hal ini menyebabkan hilangnya siqoh (kepercayaan) kepada jamaah dan harakah.
Dengan jamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatanyang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memilii gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata : “ sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri”.

4.      Sedikit mengingat akhirat

Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda : “jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa”.

5.      Melalaikan amalan siang dan malam

Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu tejaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah. ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah yang baik sebagai dasar untuk berharakah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib  maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk dikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Harakah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.
      Allah berfiman : “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) Oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. 24:40)
      Barang siapa tidak memiliki (ruh), maka ia tidak dapat memberi.

6.      Masuknya barang haram ke dalam perut

7.      Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.

Setiap perjuangan sunnatullaNya selalau menghadapi tantangan. Al Haq dan Al Bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambbarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para muharrik. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shodiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara iatidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam harakahanya. Dan itu membuat futur. Allah Berfiman :
“ Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. 64:14)

8.      Bersahabat dengan orang-orang yang lemah

Kondisi lingkungan (biah), dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun dan saling menasehatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamazah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda :
“Seseorang atas diri sahabtnya, hendaklah melihat salah seorang diantara kalian siapa ia berteman”. (HR. Abu Daud).

9.      Spontanitas dalam beramal

Amal yang tidak terencana – tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berharakah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal ( Sistematika kerja ). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.

10.  Terjatuh ke dalam kemaksiatan

      Pebuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang muharrik mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiripun sulit.


Pengobatannya

      Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.

1.      Jauh dari kemaksiatan

      Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan –Ku menimpamu. Dan barang siapa di timpa musibah oleh kemurkaan-Ku, makabinasalah ia”. (QS. 20;81)

Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman :
“ Jikalau penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi”. (QS. 7:96)

2.      Tekun mengamalkan amalan siang dan malam

Amalan sian dan malam dapat melindungi dan menjaga muharrik untuk selalu berhubungan dengan Allah WST. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.
Allah berfirman ;
“ Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Robb mereka”. (QS. 25:63-64).

3.      Mengintai waktu-waktu yang baik

Dalam banyak hadits rosulullah banya menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah lebih memperhatikan do’a hambanya. Sepertiga malam terakhir, bulan ramadhan dan bulan dzulqoidah, zulhijjah, muharram dan rajab. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang dihadapan Allah.

4.      Menjauhi hal-hal yang berlebihan.

Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.
            Firman Allah :
            “ Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu !”
(QS. 64:61)
Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfiman :
“ Demikianlah kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (adil) dan pilihan”. (QS. 2:143).

5.      Melazimi Jamaah


“ Jamaah itu rahmat, Firqoh (pengelompokan) azad ” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya syurga, hendaklah ia melazimi jamaah”. Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majlis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan kerutinan.


6.      Mengenal kendala yang akan menghadang

Pengetahuan akan tabiat jalan  yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, niscaya membuat seorang muahrrik siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman :
“ Dan beberapa banyak Nabi yang berpernag bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang orang yang sabar”. (QS. 3:146)

7.      Teliti dan Sistematik dalam kerja.

Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatunnatijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan muaharrik, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti insaya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

8.      Memilih teman yang shalih

9.      Menghibur diri dengan hal yang mubah

Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif sertamemeberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.

10.  Mengingat mati, syurga dan neraka


11.  Muhasabah (menghisab) diri

'Semoga bermanfaat...:-)

FIQIH WAQI’I


Perkembangan zaman menimbulkan beberapa persoalan baru. Persoalan ini  menuntut adanya pemecahan yang sesuai dengan kondisi  masyarakat dan pertumbuhannya. Keadaan ini merupakan tantangan bagi para ulama Islam untuk melahirkan produktif hukum yang adaptif (sesuai dengan kondisi kini), namun tetap berakar kepada kaidah-kaidah syar’i yang shohih. Inilah yang melatar belakangi lahirnya fiqih waqi’i (fiqih realitas)
Fiqih Waqi’i lahir untuk mengetahui hakekat realitas kaum muslimin masa kini, karakteristik permasalahan yang timbul, dan kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga dengan fiqih waqi’I, kita dapat menimba nilai-nilai positif sebagai kerangka untuk menentukan sasaran acuan. Para ulama memutuskan, bahwa fatwa atau mengetengahkan hukum syara’, harus diiringi dengan pengetahuan tentang realita umat. Ibni Qoyyim rahimahullah mengatakan : “ fatwa itu bisa berbeda sesuai waktu, kemungkinan, situasi, dan kondisi maupun adat”. Ada pula ungkapan lain yang senada “ perubahan hukum tidak dapat dihindari dengan adanya perubahan zaman”.
Ini bukan berarti fatwa tunduk kepada kenyataan. Justru kenyataan yang mengharuskan adanya fatwa, demi terpeliharanya tujuan syariah secara umum. Juga demi terpeliharanya kelanggengan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Realita yang baik selalu menyeru kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
Jika kita melihat disekitar kita, alhamdulillah masih kita dapatkan berbagai kebaikan pada masyarakat. Masih adanya orang yang mengabdi kepada Allah ; orang kaya yang dermawan; para da’i yang giat menegakan islam yang dibekali pemahaman tsakopah Islamiyah yang syamil, dan lain-lain. Semuanya termasuk kenyataan positif, sekalipun masih diperlukan dorongan dan pengarahan yang efektif.
Namun bila kita tengok sisi lain, kita dapat menemukan bencana dasyat yang mengancam eksistensi umat. Diantaranya :

1. Jatuhnya khalifah Islamiyah, menyebabkan umat kehilangan perlindungan dan lemah.
2.      Terpecahnya umat islam menjadi kelompok atau negara-negara kecil dengan panatisme  nasionalismenya masing-masing yang kuat.
3.      Jatuhnya daerah teritorial kaum muslimin ketangan musuh Islam, seperti Palestina, Afgainistan, Moro, Pathani, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena umat Islam hannya sibuk memikirkan daerahnya sendiri.
4.      Bersatunya musuh untuk menghancurkan kaum muslimin. Fenomena yang jelas adalah persengkokolan salibisme Internasional, Zionisme Internasional dan komunisme dalam upaya menghancurkan umat, dan bumi islam.
5.      Perpecahan dan perselisihan antar pejuang dakwah islam.
6.      Lemahnya iman akibat jauhnya dari Allah dan terlena dengan godaan dunia.

Mengahadapi kenyataan diatas, umat islam dituntut untuk menyelesaikan secara
Positif. Sehingga mampu mengadakan perbaikan, sebagaimana yang Allah inginkan terhadap umat ini, dalam ayat :
“Kalian adalah sebaik-baik umat, yang ditampilkan ke tenagah manusia untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran” (QS. 3 : 110)
           
Mempertimbangkan lilitan problema kekinian tadi, maka fiqih waqi’I menetapkan beberapa program yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam dimanapun berada. Yakni :

1.      Bekerja keras untuk mengembalikan khalifah islamiyah. Pakar poltik islam seperti Al- Mawardi dan Abi Ya’la telah memutuskan : wajib hukumnya untuk memilih dan mengangkat khalifah muslimin, yang akan menegakan hukum Allah serta akan memelihara agama dan dunia dari kehancuran. Kaum muslimin akan berdosa jika tidak merealisasikannya.
Imam Ahmad – rahimahullah – berkata : “merupakan fitnah bila tidak ada pemimpin atau imam yang  mengurusi kepentingan umat”. (kitab Ahkam As – Sultoniyah, hal 3).
      Karena itu pengkajian terhadap sebab-sebab jatuhnya khalifah dan khalifah Islamiyah harus dilaksanakan. Kemudian dilanjutkan dengan mewujudkan metode dan sistem yang dapat mengembalikan kekhalifahan seperti jaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin. Hal ini tentu mensyaratkan adanya saling bantu, serta koordinasi yang rapih sesama pejuang dakwah. Tanpa ini tidak akan tujuan tersebut.

2.      Menyatukan negara-negara islam
Nabi Muhammad SAW bersabda : “ hedaklah kalian berjamaah karena srigala hanya memakan kambing yang menyendiri “ (HR. An Nasai dan Ahmad)
Kenyataan kini, sedikit sekali negara islam yang merealisasikan hadits tersebut. Mayoritas negara Islam – dimana penduduknya mayoritas muslim – terus berpecah belah. Sementara Yahudi terus mengembangkan wilayahnya kemana-mana.
Karena itu, mereka yang mencita-citakan kesatuan negara Islam, harus mempelajari sebab-sebab kehancuran dan perpecahan. Serta harus meyakinkan masysarakat, pemerintah dan berbagai kalangan akan pentingnya persatuan umat.

3.      Mengembalikan tanah dari tangan kaum muslimin dari angan musuh-musuhnya.
Imam madzhab yang empat serta ulama lainnya, berpendapat, wajib hukumnya mengembalikan tanah kaum muslimin, walau sejengkal yang jatuh ketangan musuh islam. Menyerahkan atau membiarkan bumi Islam dicaplok, dianggap dosa besar. Dalam kenyataanya kini, masih banyak tanah kaum muslimin yang dicaplok dan belum kita rebut kembali.

4.      Berusaha untuk menghentikan persengkokolan musuh.
Allah berfirman : Artinya “Orang-orang kafir ingin kamu lengah terhadap senjatamuadan harta bendamu, lalu meraka menyerbu kamu dengan sekaligus”. (QS. 4.102)
Ini merupakan gambaran unik tentang akibat musuh Islam dan perlakuan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka selalu mengintai kesempatan untuk menghancurkannya.
Hadits Rasulullah menegaskan : “Hampir saja umat lain memperebutkan kalian sebagaimana memperebutkan makanan di atas nampan”. (HR.Abu Daud).
      Dan usaha untuk melawan persekongkolan ini juga harus bersifat internasional. Harus ada kesamaan gerak dan koordinasi dalam melaksanakannya.

5.      Mempersatukan pejuang dakwah Islam.
Nabi bersabda :
Aku mengajukan permohonan kepada Allah mengenai tiga hal, sedangkan yang ketiga di tolak. Yang ketiga itu adalah : permohonan agar tidak terjadi pertikaian diantara mereka”.
      Syaikh Muhammad Arowi berkata : “ setelah mereka mengatakan pentingnya ukhuwah dan jeleknya perpecahan, namun mereka berbeda pandangan. Allah menegaskan dalam ayat-Nya :
“ Jagalah dirimu, tiadalah orang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apbila kamu telah mendapat petunjuk “ (QS. 5:105)
      Syaikh Arowi menafsirkan ayat ini, “ Jika kita menjaga diri dan komitmen terhadap petunjuk, maka sekalipun musuh sangat kuat tidak akan mampu mengalahkan kita. Dan tanda kita mendapat petunjuk adalah menjauhi siat tanazu’ (perselisihan ) Allah berfirman: “dan janganlah bersilang sengketa, nanti kalian akan gagal dan hilang kekuatan”. (QS. 8:46)
      Setelah kita paparkan realita kaum muslimin yang memilukan ini, maka kita harus mampu memahami hakekat permasalahaan umat, serta sebagai upaya pemecahannya melalui konsep Fiqih Waki’i . maka satu hakekat yang jelas terlihat yaitu : kita membutuhkan adanya jama’ah alami yang terkoordinir seluruh usaha tersebut. Wallahu a’lam bissawab.   ( diterjemahkan dari majlah Al Jihad peshawar hal. 50-51,oleh A. Mutawali).