Kamis, 17 Januari 2013

PENDEKATAN KAJIAN IDEOLOGI

Ada banyak pendekatan kajian ideologi telah dikembangkan dalam ilmu sosial kontemporer. Dua di antaranya adalah pendekatan aliran Marxist strukturalis Prancis yang terutama dikembangkan oleh Louis Althuser, dan pendekatan yang dikembangkan oleh pewaris terjauh tradisi Marxian dari Jerman, yakni Aliran Frankfurt terutama pada tokoh terakhirnya, Jurgen Habermas. Meskipun seolah membentuk dua aliran pendekatan yang sama sekali berbeda, tapi keduanya jelas memiliki basis atau akar teori yang sama. Tim Dant, misalnya, melihat bahwa baik strukturalis Althuserian maupun teori kritis masyarakat Aliran Frankfurt sama-sama masih berpijak pada analisa Marx tentang relasi-relasi materialis, tapi dua pendekatan ini juga mencoba mengatasi Marx dalam konteks pengakuannya pada aspek-aspek lain di luar determinan ekonomi dari kehidupan sosial manusia. Althuser menolak apa yang ia anggap sebagai kecenderungan determinasi-tunggal konsep-konsep Marx tentang base dan superstructure, dan menganggapnya lebih sebagai sebuah kegagalan filosofis sekaligus akar kegagalan praktik-praktik politis. Secara filosofis, dalam tradisi Marxian struktur dasar ekonomi secara dogmatik dianggap menentukan superstruktur. Karena filsafat berada pada superstruktur, maka dogma bahwa struktur dasar ekonomi mendeterminasi superstruktur bagi Althuser telah mengakibatkan diingkarinya peran-peran historis lain pada perkembangan filsafat. Di lain pihak kegagalan politik dari dogma seperti itu ditunjukkan Althuser dengan merujuk pada kenyataan sejarah bahwa kontradiksi saja (baik kontradiksi kekuatan-kekuatan produksi dan relasi produksi, maupun kontradiksi antara dua kelas yang antagonistik dalam kapitalisme) ternyata tidak pernah cukup untuk menjadi pendorong revolusi. Menghindar dari kecenderungan reduksionis Marx yang hanya memberi tekanan pada satu kekuatan, yakni ekonomi, Althuser menawarkan konsep tentang dialektika yang melibatkan bermacam-macam level formasi sosial yang pada tingkat-tingkat tertentu memiliki sebuah “otonomi relatif” sehingga bersifat self-determining. Dant mengidentifikasi level-level formasi sosial Althuser tersebut meliputi struktur ekonomi (the base), dan politik dan ideologi sebagai dua level superstruktur. Althuser, dengan kalimat lain, ingin mengatakan bahwa kontradiksi berlangsung tidak hanya pada satu level formasi sosial, melainkan juga terjadi pada level-level yang lain. Konsep yang ditawarkan oleh Althuser bukan determinasi tunggal seperti Marx melainkan apa yang ia sebut overdeterminasi (overdetermination) dari dialektika materialis. Meskipun berusaha meninggalkannya, tapi secara keseluruhan gagasan Althuser pada dasarnya membagi perhatian yang sama dengan Marx: ideologi atau superstruktur tetap dianggap sebagai sebuah bagian konstitutif dari sebuah proses yang dicirikan oleh ketidakseimbangan kuasa dan dominasi. Pada tingkat yang lebih jauh, pemikiran Althuser pada dasarnya berusaha tetap memelihara perbedaan mendasar antara ilmu pengetahuan dan ideologi. Untuk keperluan analisanya, ia telah berusaha memahami sifat dari praktek-praktek ideologi secara ilmiah, dan menetapkan ciri-ciri ideologi sebagai satu kesatuan yang utuh yang disatukan oleh problematik dan ketergantungan pada situasi sosialnya. Bagi Althuser, ideologi adalah sesuatu yang didesakkan dari luar oleh konteks politis dan ekonomis yang melandasinya. Ia juga melihat ada distingsi hierarkis antara praktek-praktek teoritis ilmiah dan mode pemikiran ideologis. Menurutnya, dalam bentuknya yang paling umum praktek teoritis bukan hanya meliputi praktek teoritis ilmiah, melainkan juga praktek teoritis pra-ilmiah. Praktek pra-ilmiah inilah yang oleh Althuser dianggap sebagai ideologi, satu bentuk pengetahuan yang, dalam bahasa Althuser, menyusun pra-sejarah ilmu pengetahuan berikut filosofinya. Dengan demikian, Althuser sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya hierarki ilmu pengetahuan atau sains secara historis mengikuti ideologi. Keterputusan antara keduanya dianggap Althuser ditandai oleh sebuah “keterputusan epistemologis”. Sayangnya, paling tidak menurut Dant, Althuser gagal menjelaskan tentang apa yang dia sebut “keterputusan epistemologis” tersebut. Dua Tesis Althuser tentang Ideologi Bagi Althuser, alat-alat produksi mengalami reproduksi ideologi melalui pelbagai institusi sosial yang ia sebut Ideological State Apparatus (ISA): agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, persekutuan dagang, komunikasi, dan kebudayaan. ISA dibedakan dari Represeive State Apparatus (RSA) seperti polisi, angkatan perang, pemerintah, pengadilan, dan penjara, karena sementara ISA bersifat plural dan privat, RSA bersifat tunggal dan publik. Kalau ISA berfungsi secara dominan melalui ideologi dan mengarahkan sebuah kesatuan dengan dominasi ideologi kelas penguasa, RSA berfungsi dengan menggunakan kekerasan dan represi. ISA dianggap Althuser lebih efektif dalam memelihara kekuasaan negara dibandingkan dengan RSA. Tesis Althuser diulas secara kritis oleh Hirst yang berhasil menunjukkan bahwa apa yang dimaksud reproduksi alat-alat produksi oleh Althuser sebenarnya lebih merupakan reproduksi agen-agen produksi: manusia yang telah mengalami sosialisasi. Ada dua thesis yang dikembangkan Althuser tentang ideologi: Dengan tesis pertama althuser tidak bermaksud menjelaskan ideologi semata sebagai ilusi atau sebuah refleksi dari kondisi-kondisi real. Aspek imajiner dari ideologi Althuserian ini menurut Dant berhubungan dengan hubungan antara individu-individu dengan kondisi-kondisi real. Apa yang dimaksud dengan kondisi real oleh Althuser tidak lain adalah relasi-relasi produksi dan relasi-relasi kelas. Dengan demikian, tesis pertama ini mengandaikan adanya pemisahan yang tegas antara eksistensi real individual yang bersifat material dengan kesadaran ideologis individu yang sama oleh hubungan imajiner tadi. Relasi atau hubungan imajiner bersifat material karena ia adalah tindakan atau praktek-praktek individual yang secara bebas mengalir dari gagasan di kepalanya. Sementara tesis kedua bisa dipahami dalam pengertian bahwa gagasan (ideas) atau representasi tidak memiliki sebuah eksistensi spiritual, melainkan lebih bersifat material. Dalam konteks ideologi, aspek material ini ditandai oleh eksistensi dalam apa yang oleh Althuser disebut “aparatuses” dan “practices”. Apa yang dimaksud aparatus oleh Althuser juga mencakup praktik-praktik ritual seperti pemakaman atau rapat sebuah partai politik. Dalam konteks tersebut, produksi wacana, terutama wacana ilmiah, bagi Althuser pada dasarnya tidak lebih merupakan bagian dari praktik-praktik ritual dalam tiga bentuk Ideological State Aparatuses (ISA): pendidikan, politik dan komunikasi. Kritik Ilmu dan Kebudayaan Versi Frankfurt School Ada dua bentuk pengetahuan yang dijadikan pangkal tolak kritik para teoritisi Aliran Frankfurt: ilmu pengetahuan (sains), dan budaya massa (mass culture). Adorno dan Horkheimer, misalnya, melihat sain telah berubah menjadi bersifat ideologis karena terjadinya perubahan dalam relasi antara manusia dan alam. Ketika manusia membebaskan dirinya dari belenggu alam (kelangkaan sumber) melalui teknologi, yang muncul kemudian adalah dominasi manusia atas alam. Ini menghasilkan sejenis mental dominasi sehingga, pada gilirannya, manusia cenderung untuk mendominasi sesamanya, dan menerima dominasi atas nama alasan teknologis dan rasionalitas ilmiah. Ketika itulah terjadi apa yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut sebagai Dialektika Pencerahan: sain dan teknologi yang membantu proses pencerahan manusia ke luar dari dominasi alam kemudian berbalik menghasilkan praktik-praktik dominasi manusia atas alam dan atas sesama manusia. Herbert Marcuse mengembangkan bentuk-bentuk awal kritik Aliran Frankfurt pada level yang lebih jauh dengan memfokuskan kajiannya pada persoalan konsumsi dan produksi masyarakat kontemporer. Bagi Marcuse, dominasi melalui represi politik, atau dominasi satu kelas atas kelas lain tidak lagi terlalu penting, karena dengan memanipulasi “kebutuhan” kontrol sosial menjadi jauh lebih efektif. Kapitalisme mutakhir, menurut Marcuse, bukan melakukan produksi untuk memenuhi kebutuhan melainkan menciptakan keduanya, sehingga pada dasarnya seluruh produksi diarahkan untuk memenuhi apa yang ia sebut “kebutuhan semu” yang dengan sengaja diciptakan. Objek utama kritik Marcuse adalah sebuah struktur ideologi yang berdimensi tunggal (one dimensional) karena model rasionalitasnya tidak memiliki aspek-aspek reflexif atau kritis melainkan seragam. Berbeda dengan teori-teori tradisional, validitas Teori Kritik Masyarakat a la Aliran Frankfurt tidak terletak pada adopsi sebuah metode yang dipertahankan oleh epistemologi, melainkan dalam bentuk pencerahan karena keberhasilannya mendorong sebuah praktik politik ke arah emansipasi, pembebasan umat manusia dari segala bentuk dominasi. Proyek Teoritis Habermas Betapa pun tajamnya kritik Horkheimer, Adorno atau Marcuse ketiganya tetap dianggap tidak cukup mampu menyediakan basis filosofis bagi kritik ideologi yang bisa menghindarkannya dari kecenderungan ideologis. Kekosongan itulah yang secara khas diisi oleh program teoritis Habermas dalam membawa teori kritik masyarakat ke level yang lebih matang. Dalam perkembangannya, rentang isu yang dibahas Habermas pada dasarnya bisa dianggap jauh melampaui tradisi kritik ideologi atau bahkan sosiologi pengetahuan. Karya-karya awal Habermas bisa dianggap sebagai pengembangan lebih lanjut dari teori ideologi Marx dalam empat arti. Pertama, upaya Habermas untuk merumuskan kembali peran “kesadaran” sebagai kekuatan historis tanpa merujuk ulang pada idealisme dan historisisme Hegelian. Kedua, pada karya-karya Habermas problem epistemologis yang muncul dari perumusan ulang tadi dihadapi tidak dengan menciptakan sebuah pemisahan antara “sains” dan “ideologi” atau kesadaran “palsu” dan kesadaran “yang sebenarnya” (false and true consciousness). Ketiga, cara Habermas menghadapi isu-isu seperti itu adalah dengan mengembangkan apa yang dikenal sebagai teori tindakan komunikasi (theory of communicative action). Keempat, Habermas berusaha untuk mengembangkan teori tentang proses-proses masyarakat kapitalis mutakhir yang selain kritis juga optimistis. Ada yang khas dalam metode kerja teoritis Habermas yang sayangnya tidak dibahas oleh Tim Dant dalam buku ini. Misalnya, Habermas tidak serta merta meninggalkan pemikiran para pendahulunya, melainkan justru masuk ke dalamnya sambil mempersiapkan kritik fundamental terhadapnya. Dalam mengembangkan teori tindakan komunikasi, misalnya, ia masuk ke dalam rimba pemikiran Hegel tentang filsafat pikiran (the philosophy of mind). Kemudian ia menafsirkannya seolah-olah Hegel menawarkan tiga bentuk hubungan dialektik yang membentuk basis sistematis bagi proses pembentukan jiwa (spirit): representasi simbolis, proses kerja (the labour process), dan interaksi di atas basis resiprositas. Masing-masing dianggap Habermas memediasikan subjek dan objek dalam caranya sendiri. Representasi simbolik mengacu pada kategori bahasa dan merupakan salah satu cara bagaimana subjek yang mengetahui, “aku”, terbentuk. Proses kerja, di lain pihak, menghasilkan relasi antara subjek manusia yang menaklukan objek (alam). Sementara dialektika ketiga melibatkan subjek yang menyadari dirinya sendiri melalui interaksi dengan subjek lain. Bentuk relasi dialektik inilah yang menjadi basis pengembangan teori tindakan komunikasi Habermas. Tentang subjek yang mengetahui (the knowing subjek), Habermas secara saksama berusaha menghindari jebakan baik konsepsi Kantian yang mereduksi subjek sebagai sesuatu yang bisa ditemukan melalui refleksi-diri, maupun faham Hegelian yang mereduksi subjek menjadi sebuah subjek universal. Sebaliknya, konsepsi Habermas tentang subjek yang mengetahui memiliki basis material pada aksi atau tindakan-tindakan subjek manusia, tapi yang pada saat yang sama juga tidak direduksi semata menjadi relasi materialisme konkret seperti yang dilakukan Marx. Dengan cara itu Habermas berhasil mengembangkan teori kritis miliknya yang terhindar dari kecenderungan determinisme materialis. Kritik Habermas kemudian bergerak mempersoalkan tesis Marx tentang produksi ekonomi dan hubungan-hubungan produksi di dalamnya sebagai kriteria utama dalam menjelaskan eksistensi masyarakat-masyarakat manusia. Bagi Habermas, Marx telah gagal membedakan dua komponen analis yang berbeda, yakni antara kerja (purposive-rational action) dan interaksi sosial (atau simbolik) yang oleh Habermas dimasukkan ke dalam kategori tindakan komunikasi (communicative action). Problem mendasar dalam konsepsi Marx tentang kerja, menurut Habermas, adalah karena ia telah mereduksi self-generative act manusia menjadi buruh/kerja. Dari situ ia kemudian membuat sebuah distingsi fundamental antara kerja dan interaksi. Tindakan rasionalitas-tujuan oleh Habermas dibagi menjadi dua: tindakan instrumental (instrumental action) dan tindakan strategis (strategic action). Yang pertama melibatkan seorang aktor yang secara rasional membuat kalkulasi tentang cara terbaik untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara yang kedua melibatkan dua atau lebih individu yang mengkoordinasikan tindakan rasionalitas-tujuan untuk mencapai sebuah tujuan. Hasil akhir yang ingin dicapai oleh dua bentuk tindakan tersebut adalah apa yang oleh Habermas disebut kemenangan instrumental (instrumental mastery). Di lain pihak, tujuan akhir tindakan komunikatif adalah tercapainya pemahaman komunikatif. Tindakan agen-agen yang terlibat tidak dilakukan melalui kalkulasi egosentrik tentang keberhasilan melainkan melalui tindakan-tindakan untuk bisa saling memahami satu dengan lainnya. Dalam tindakan komunikasi, menurut Habermas, para partisipan bukan terutama berorientasi pada keberhasilan masing-masing, melainkan terutama untuk menciptakan kondisi keselarasan atau harmoni antara rencana tujuan tindakan individual di atas basis definisi-definisi situasi bersama (common situation definitions). Apa yang dimaksud dengan tindakan komunikatif oleh Habermas tidak terbatas pada komponen-komponen ujaran melainkan juga mencakup ungkapan-ungkapan non verbal lain. Habermas mulai meninggalkan Marx ketika ia menyatakan bahwa aksi komunikasilah, bukan tindakan rasionalitas-tujuan (kerja), yang merupakan fenomena masyarakat manusia paling utama. Dengan kalimat lain, tindakan komunikasi adalah dasar dari seluruh kehidupan sosokultural dan semua ilmu-ilmu kemanusiaan. Kalau Marx memfokuskan perhatian pada kerja sebagai medium relasi manusia dengan alam, fokus perhatian Habermas terutama ditujukan pada komunikasi. Dasar teoritis Habermas adalah komunikasi yang tidak terdistorsi, komunikasi tanpa paksaan. Dengan pijakan tersebut Habermas kemudian mengembangkan kritiknya pada bentuk-bentuk komunikasi yang terdistorsi, seperti Marx melakukan kritik pada kerja yang terdistorsi oleh kapitalisme industrial. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi Melampaui para pendahulunya seperti Herbert Marcuse, Habermas melihat bahwa ideologi kaum boujuis tentang “pertukaran yang adil” (just exchange) telah runtuh, sehingga masyarakat kapitalis modern mengalami apa yang ia sebut krisis legitimasi. Akibatnya lebih jauh, kekuasaan politik membutuhkan sumber-sumber legitimasi baru. Kebutuhan tersebut menurut Habermas dipenuhi oleh sain dan teknologi melalui apa yang ia sebut saintisasi teknologi (scientization of technology) ketika ilmu didorong untuk menghasilkan teknologi terus-menerus melalui program-program penelitian dan pengembangan. Kritik Habermas terhadap masyarakat kapitalis maju juga bisa ditemukan dalam analisanya tentang ilmu dan teknologi. Bagi Habermas, teknologi telah menjadi sebuah ideologi yang bekerja di latar belakang (background ideology) dalam masyarakat teknokratis. Di lain pihak, ia juga melihat kecenderungan fetisisme ilmu dalam masyarakat kontemporer sebagai kecenderungan bergesernya ilmu menjadi satu bentuk ideologi baru. Konklusi Habermas perlu dilihat sebagai sebuah kritik yang jauh lebih optimistis dibanding para peletak dasar teori kritis mahzab Frankfurt lainnya. Sebab bagi Habermas, munculnya ilmu dan teknologi sebagai kekuatan pemberi legitimasi baru bukan hanya menandai transformasi dari bentuk-bentuk ideologi tradisional menjadi sebuah ideologi yang modern dan rasional, melainkan juga sebagai tanda mulai munculnya kritik ideologi. Sumber: Tim Dant, “Knowledge, Ideology and Discourse, A Sociological Perspective”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar