(QS. As Shaaf 21:3)
Mudah-Mudahan kita semua tidak menjadi contoh keburukan bagi orang lain.
Mudah-mudahan anak-anak kita tidak mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf
kita, para orang tuanya lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan
masyarakat kita tidak menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat
perilaku buruk yang kita lakukan.
Alangkah ruginya dalam hidup yang cuma sekali-kalinya ini dan orang lain
meniru keburukan kita, naudzubillah. Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk
dan tidak bermoral, maka ketika orang berbicara, akan berbicara tentang
keburukan kita. Apalagi jika orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti
kita juga akan memikul dosanya.
Namun seandainya justru orang atau masyarakat di sekitar kita yang
berperilaku kurang baik, maka sudah sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk
mengubahnya menuju arah kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi
lebih baik secara efektif ?
Salah satu caranya adalah dengan kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh
terlebih dahulu. Jika ingin mengubah orang lain, maka pertanyaan pertama yang
harus dilakukan adalah sudah pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi
orang lain? Sudahkah kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada
pada diri orang lain itu?
Rasulullah SAW gemilang menyeru ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat
dari zaman kegelapan menuju jalan penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun.
Salah satu pilar strategi keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan
suri tauladan yang sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang
mengubah orang lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri
kita sebagai media atau contoh yang layak ditiru.
Karenanya, jangan bercita-cita memiliki anak yang santun, lembut, kalau
kesantunan dan kelembutan itu tidak ada dalam diri orang tuanya. Jangan
bercita-cita punya anak yang tahu etika, kalau cara mendidik yang dilakukan
orang tuanya tidak menggunakan etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para
pimpinan ingin anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari
diri pimpinannya. Contoh sederhana, mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang
jadi acuan bangsa Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa
sekarang pemimpin bangsa ini yang paling Pancasilais ? Susah mencarinya.
Seumpama mata air di pegunungan yang sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya
sudah keruh, walau yang di bawah di bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di
hilir menjadi keruh karena di hulunya juga keruh.
Orang tua ingin anak-anaknya tidak merokok padahal ternyata orang tuanya
perokok berat, bagaimana mungkin ? Para guru ingin murid-muridnya tidak
mengganja, padahal ganja itu awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok
di depan murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?
Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik
tentang mengapa anak-anak menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu
dindingnya tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang
bayinya, dan ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak.
Perilaku si Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.
AH, sahabat. Sayang sekali kita terlalu banyak menuntut pada orang lain,
padahal sebenarnya yang paling layak kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para
guru bertanggung jawab kalau para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin
akhlak Pak Gurunya dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa
yang bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah
akhlak para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda.
Santri di pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang
tahajutnya, lihat saja akhlak para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang
terlambat, kinerjanya tidak optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja
akhlak pimpinannya. Pimpinan mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan
mencuri pula.
Oleh karena itu, pertanyaan yang harus selalu kita lakukan adalah sudahkah
diri kita ini menjadi contoh kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara
masalah disiplin atau masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum
membiasakan diri untuk berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata
yang terlontar dari mulut ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru
akan jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada kata-kata.
Bersiap-siaplah untuk menderita bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi
contoh kebaikan bagi anak-anaknya. Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi
seorang ayah yang tidak dapat menjadi suri tauladan bagi keluarga dan
keturunannya. Bersiap-siaplah untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit
kalau seorang atasan tidak menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah
menghadapi kepusingan jikalau seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang
dipimpinnya.
Ingat, jangan mimpi mengubah orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri
sendiri. Allah SWT, dengan tegas menyatakan kemurkaannya bagi orang yang
menyuruh berperilaku apa-apa yang sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sungguh besar kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa
yang tidak diperbuatnya" (QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih
memperjelas kata-kata kita.
Dan menjadi contoh juga tidak akan efektif kecuali contoh itu penuh
keikhlasan. Karena ada pula yang memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin
dinilai orang lain hebat, ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya
seperti ini, tidak akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati
lagi. Contoh yang tidak ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang
karena pujian, over acting tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh
haruslah dilakukan dengan ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk
dipuji dan dihormati.
Nah Sahabat.
Selalulah tanya pada diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup
yang sekali-kalinya ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah
sebaliknya contoh tauladan keburukan ? Naudzhubillah.
Apakah contoh pribadi yang matang ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan?
Karenanya menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang
pemimpin, dan bagi siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup
cuma sekali dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah
jikalau kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar
adalah terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun.
Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar